Seiring dengan peringatan 17 Agustus 1945. Saya adalah warga negara yang sangat mencintai TNI. Saya lahir dari keluarga TNI. Beberapa kerabat saya telah menjadi perwira di berbagai angkatan. Bahkan salah satunya adalah kawan seangkatan jenderal paling berpengaruh. Jadi kalau saya mengomentari TNI, berarti saya mengomentari keluarga saya sendiri. Namun yang pasti, semua ini adalah berangkat dari keprihatian, dan sumbangsih saya pada TNI yang sama2 kita cintai ini.
Disebut oleh TV Aljazirah, bahwa 2 orang prajurit TNI lari dari pos dan pasukannya, ngacir dan akhirnya nyasar di rumah-rumah penduduk Lebanon Selatan. 2 prajurit tersebut nampak kelelahan, dan kehausan. Dalam gambar yang ditayangkan ke seluruh dunia itu, bahwa salah satu prajurit tersebut mengangkat tangan sambil berdoa, mungkin bersyukur dia selamat dari serbuan pasukan Israel. Akhirnya mereka diantar oleh warga setempat kembali ke markasnya secara swadaya.
Apakah yang bisa ditarik pelajaran dari sini. Agustus yang seharusnya diwarnai oleh kegempitaan dan kebanggaan, serta kegagah-beranian, dihancurkan oleh insiden tersebut. Bagaimana tidak, moment 17 agustus 1945 yang mencerminkan keberanian para pahlawan, dalam melawan penjajah agresor. Bahkan hanya dengan modal sepucuk bambu, mereka berani melawan senapan mesin musuh. Tidak perduli lagi pada nyawa, karena bagi mereka syahid jauh lebih mulia ketimbang hidup tanpa melakukan apa2.
Jawaban dari petinggi TNI adalah, insiden tersebut adalah hal yang biasa, dan mereka sudah melaksanakan prosedur dangan baik. Pasukan TNI di sana adalah bersifat observer. Dan tidak berwenang melakukan kontak senjata. Sehingga sedapat mungkin pasukan TNI menghindari kontak senjata tersebut.
Aneh.. aneh.. aneh. Falasafah kuno yang selalu diterapkan negara ini sejak jaman Majapahit adalah “Tidak akan tinggal glanggang colong playu”. Sebagai pasukan dari bumi ksatria yang selalu melahirkan pahlawan-pahlwan yakni Indonesia, perbuatan 2 prajurit TNI tersebut sangat tidak mencerminkan kebesaran negara ini. Seharusnya, mereka tidak boleh bergerak se-inchi-pun dari tempat dia berdiri.Karean mereka memegang mandat dari PBB, yang harus mereka junjung tinggi. Tidak perduli itu pasukan Lebanon, atau Israel, mereka tidak boleh mundur sedikitpun. Mati bersimbah darah seharusnya adalah pilihan yang dipilih, dari pada lari seperti itu. Karena mereka memang adalah tentara.
Setelah itu, ada rumor ini itu, salah satunya adalah pembelaan yang dilakuakn oleh petinggi TNI di Lebanon dan di tanah air, sesunguh untuk menyelamtkan muka mereka, karena mereka tidak mau dituduh “salah dalam mendidik prajurit tersebut”. Namun rumor yang paling santer adalah bahwa prajurit TNI di sana memang tidak bisa melakukan apa-apa. Bahkan untuk menjaga garis perbatasan saja mereka tidak sanggup. Rumor yang tidak enak juga adalah, petinggi TNI harus membela diri, hal ini agar pemerintah tidak disalahkan, karena tidak menyiapkan dengan baik seluruh aspek yang dibutuhkan oleh prajurit kontingen garuda itu.
Yang mana yang benar… saya tidak tahu pokonya saya mau berteriak, SOLUSInya adalah :….
1. Jangan terima bantuan Israel. Dalam tataran diplomasi terbuka kita seolah-olah adalah musuh Israel. Kita tidak pernah menunjukkan persahabatan sedikit pun dengan Israel, bahkan untuk membuka perwakilan saja kita tidak ada. Tapi yang terjadi, negara ini terus menerima bantuan dari Israel. Baik itu produk-produk benda, maupun bantuan keuangan, pelatihan intelijen militer, bahkan persenjataan. Bukti-bukti sudah di depan mata.
2. Stop kerja sama dengan Israel. Semua orang tahu bahwa sejak jaman Soeharto, sebenarnya kita memiliki hubungan haram dengan Israel. Seperti sepasang kekasih gelap, kita dengan mudah membeli peralatan persenjataan semacam UZZI, pesawat HAWK, dan yang paling mutahir adalah alat-alat penyadapan intelijen seperti yang dimiliki oleh MOZZAD, bahkan pesawat pengintai tanpa awak (yg ITB-pun bisa buat dan beberapa sudah dibeli Malaysia) kita justru beli dari Israel.
3. Stop diplomasi karet. Jika kita tidak mau berhubungan dengan Israel, ya kita harus konsisten. Karena ini sudah merupakan kebijakan negara. National Policy, yang harus ditaati oleh seluruh komponen bangsa, termasuk DepHan. Kalau mau berhubungan ya kita buka kedutaan, kita kirim pasukan ke afganistan, kita habisi orang afhganistan. Jadilah kita seperti negara-negara lain, yang tidak punya harga diri selalu dibelakang Amerika dan Israel. Barang siapa yang melanggar kebijakan negara, dan mencoba berhubungan dengan musuh, adalah penghianat. Perbuatan makar hukumannya adalah tembak mati.
4. Berikan solusi pada Israel. Kita akan mengakui negara Israel jika mereka kembali ke Peta tahun 76 dan mengembalikan tanah-tanah orang palestian kepada pemiliknya. Serta membangun kembali negara Palestian yang sudah rata dengan tanah itu. Dan kemudian kita akan membuka hubungan diplomatik resmi dengan mereka. Dan agama Yahudi boleh berkembang di Indonesia. Walaupun saya yakin Israel tidak akan mau dengan tawaranb semacam itu. Tapi paling tidak kita memiliki andil dalam tataran diplomasi Internasional.
5. Berikan dana pendidikan yang cukup. TNI dan Dephan harus bisa diaudit oleh auditor negara atau semacamnya. Sehingga negara akan yakin bahwa dana yang akan ditambhakn bagi mereka dapat tepat sasaran dan tidak menyimpang kemana-mana. Berikan pengertian kepada setiap prajurit, bahwa dengan menyandang nama sebagai “prajurit TNI” maka dia sudah tanda tangan kontrak mati. Sejak mereka berangkat ke medan perang (tugas) dirinya adalah sudah mati. Dan jika pulang dengan selamat, itu adalah bonus saja. Di suasana peringatan 17 Agustus 1945 ini, kita perlu mengenang bagaimana para prajurit dulu, berangkat meninggalkan anak istri, bagi yang bujangan mereka tidak lagi memikirkan masa depan dirinya sendiri. Karena darah yang mengalir dari tubuhnya adalah demi kemulyaan bangsa. Dan bagi mereka, itu adalah menikmatan tiada tara. Sehingga tidak ada lagi insiden prajurit lari dari medan pertempuran seperti itu, yang benar2 bikin malu bangsa ini. Dan juga bangsa2 Asia Tenggara umumnya. Pendidikan bukan untuk disekolah saja. Jadi sangat keliru kalau APBN 20% pendidikan itu jatuhnya selalu ke DepDikNas. Salah besar. Bukan hampir setiap lembaga memiliki lembaga pendidikan. Dan bukankah lembaga pendidikan terbaik saat ini adalah AKMIL. Bagaimana dengan wajib militer yang mendidik para sukarelawan menjadi pribadi-pribadi yang memiliki disiplin tinggi, teguh dan tahan banting. Jadi bisa saja 10% APBN ini digunakna untuk pendidikan tapi melalui DepHan. Bukan kah itu masalah teknis saja ?
6. Buatlah peralatan tempur sendiri. Di tahun 45 kita tidak punya dana untuk membeli granat, senjata tangan, atau mesin, apalagi mau beli pesawat tempur. Anehnya setelah 65 tahun indonesia merdeka, kita juga masih belum punya 1 pun skuadron tempur yang baik.Tapi kita tidak pernah menyerah. Bukti bahwa kekuatan asli kita telah memenangkan berbagai pertempuran di tanah air. Dan konsep perang gerilya yang diakui seluruh dunia, dan memenangkan Vietnam dari perang melawan Amerika. Ya indonesia harus bisa membuat peralatan tempur sendiiri. Kita tidak boleh berlindung dibalik retorika “TNI tidak boleh ketinggalan teknologi”. Bagi saya, teknologi ini adanya di kepala kita. Dan bukan di peralatan. Modern Electronic Warfare, hanya bisa dijalankan oleh personil yang menguasai teknologi, dan sudah dilatih berulang-ulang setiap hari.
7. Jadikan TNI adalah sentra kemajuan bangsa. Saya lebih suka TNI harus menjadi negara dalam negara. TNI harus punya departemen selengkap negara. Mulai dari litbang, ristek, peneliti kehutanan, biologi, virus dan racun, laut, angkasa, antariksa, berbintangan, angin, awan, batuan, tambang, kimia, elektronika, komputer, radio, ekonomi mikro makro, kontruksi seperti jalan, jembatan, gedung, bahkan sampai setiap satelit yang diluncurkan baik itu oleh swasta atau negara harus ada stempel dari TNI AU. Bahkan sampai ilmu psikologi, filsafat, politik, agama sejarah. Semua aspek kehidupan masyrakat, TNI harus punya dokumentasinya. TNI harus lebih maju dari kalangan manapun di negara ini. Bahkan TNI dapat dengan mudah “menyalin” ilmu yang dimiliki oleh kalangan kampus untuk dirinya sendiri, baik secara terang terangan maupun tidak. Seharusnya teknologi GSM, GPS, Video Chatthing, atau semacamnya itu sudah dikuasai TNI 20 tahun sebelum orang kebanyakan menggunakananya. Saya sedih ketika seorang perwira TNI di Lebanon diwawancarai TV kita, mereka berbica menggunakan sambungan telpon biasa, dengan kualitas yang sangat buruk. Jika demikian bagaimana Presiden dapat mengontrol pasukannya dimedan tempur jika mengurusi komunikasi saja tidak bisa. Jadi bukan cuma urusan dar der dor dan strategi perang saja.
8. Semakin perpendek waktu kesiapan perang. Perang selalu harus dipersiapkan. Amerika yang memiliki kekuatan militer sangat besar, masih membutuhkan 2 tahun persiapan untuk menyerang Jerman. Dan hanya butuh 2 bulan untuk menyerang Afghanistan. Mereka hanya butuh beberapa Jam jika negara mereka hendak diserang negara lain. Yang pasti bagaimana caranya kita bisa cepat siap jika kita diserang. Jadi bukan menumpuk persenjataan. Tapi memahami bagaimana membuat senjata. Kalau kita berperang, apakah TNI tahan berperang sendirian tanpa rakyat, seperti yang terjadi pada pasukan Saddam.
9. Jangan bunuhi Extremis. Kita semua tahu, bahwa HOS Cokro aminoto, Dr Sutomo, Sukarno, M.Hatta, Supriadi, Sudirman, .. dan seangkatan mereka, adalah termasuk golongan Extremist. Mereka adalah termasuk dari golongan yang selamat dari pembunuhan. Digolongkan sebagai pemberontak oleh agresor Belanda. Apa hasilnya, bukannya gerakan makin melemah, tapi malah menjadikan Belanda semagai Common Enemy. Sehingga melahirkan gerakan nasional. Dan dampaknya sangat memukul telak agresor Belanda waktu itu. Rangkul apa yang disebut dengan kaum Extremist itu. Jangan seperti Densus 88 yang dengan entengnya membunuhi saudaranya, dianggapnya mereka sekumpulan tikus pengerat yang tidak berguna.
10. Kembalikan Posisi Polri dan kewenangan pengaturan senjata api. Harus ada kemauan dari semua pihak untuk mengembalikan posisi POLRI pada tempat semestinya. Polri menurut rancangannya adalah berkedudukan yang sama dengan 3 angkatan lain. Sekarang Polri adalah sebuah lembaga super body. Bahkan kedudukan Kapolri adalah satu tingkat di atas Panglima TNI. Ini adalah ketimpangan yang tidak sehat. Polri harus di bawah Departemen Keadilan (Justice) atau DepHukHAM. Dan TNI sudah benar di bawah DepHan. Sementara itu seperti KPK, negara perlu membentuk lembaga penyelidik kejahatan berat / nasional khusus, yang menangani rahasia negara, Terorisme, kejahatan pembunuhan tingkat 1, penculikan, pembunuhan berantai, kasus2 luar biasa lainnya. Seperti FBI, sementara Polri orientasinya adalah sebagai polisi masyrakat di daerah. Sementara hak pengaturan senjata api letaknya adalah di Dephan dan bukan di Polri. Selama ini konsep undang-undang yang kita terapkan sangat tidak ideal.
Dirgahayu Republik Indonesia. Semoga semakin banyak para pemimpin sekarang ini yang memiliki pandangan jauh ke depan, setidaknya mendekati para pendiri bangsa ini. Jangan sampai semakin banyak pemimpin berkualitas rendah yang hanya bisa membesarkan perutnya sendiri.
Bagaimana menurutmu ?!?!!
Tulisannya kebanyakan ya ?!